LOKAKARYA RUU PERUBAHAN KEDUA UU No.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Rencana Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua atas Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah ditetapkan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 urutan ke-7 (tujuh) yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesuai hasil rapat antara Badan Legislasi DPR RI dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk itu, dengan diawali 2 (dua) kali pembahasan dengan kalangan terbatas, pada tanggal 25 Februari 2020 di Gedung Manggala Wana Bakti Jakarta, Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) dan Komunitas Rimbawan Nusantara (KRN) telah menyelenggarakan Lokakarya Nasional yang dihadiri oleh wakil-wakil para eksekutif (K/L terkait), legislatif (Komisi IV DPR RI),  Badan Usaha Milik Negara/Swasta (BUMN/S), lembaga profesi, dan lembaga masyarakat kehutanan. Hasil lokakarya tersebut akan disampaikan sebagai saran/masukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).    

Ketua Umum YSWJ Dr. Boen M. Purnama dalam lokakarya ini menyatakan Perubahan Kedua UU No.41 Tahun 1999 ini suatu keniscayaan karena telah ada perubahan pertama dengan terbitnya UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2004, serta beberapa kali perubahan subtansi pasal-pasal UU No.41 Tahun 1999 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 Tahun 2011, Nomor 35 Tahun 2012, dan Nomor 95 Tahun 2014. Perubahan Kedua UU No.41 Tahun 1999 dan UU No.18 Tahun 2013 tersebut bertujuan untuk meningkatkan investasi kehutanan, memperluas lapangan kerja para rimbawan dan pencari kerja. Sementara itu Dr. Petrus Gunarso dari KRN menekankan adanya kegalauan rimbawan yang sering menjadi tumpuan kritik dari setiap kejadian bencana banjir dan tanah longsor, di samping melihat peluang perbaikan kinerja kehutanan di masa depan dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam sambutan pembukaan Lokakarya, Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Dr. Bambang Hendroyono memaparkan beberapa pertimbangan lainnya untuk diperhatikan yaitu adanya 8 (delapan) materi gugatan kepada MK serta kebijakan pembangunan kehutanan kedepan menyangkut perencanaan kehutanan dan pengukuhan kawasan hutan yang dibahas oleh Tim Omnibus Law, Rencana Kerja Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024, dan kebijakan atau program lingkup Direktorat Jenderal PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari), PDASHL (Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung), KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem), dan PKTL (Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan) pada Kementerian LHK. Lebih lanjut Sekjen LHK mengingatkan 5 (lima) Visi Presiden RI yang terkait dengan kebijakan pengurusan dan pengelolaan hutan, pemulihan dan rehabilitasi DAS-danau-waduk, pencapaian target komitmen Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nationally determined contribution (NDC) 29% – 41%, ketahanan pangan-air-energi-lingkungan hidup, destinasi wisata alam, kebangkitan industri kehutanan, sistem informasi kehutanan, langkah-langkah koreksi tentang perijinan berusaha di kawasan kehutanan, tanah obyek agraria (TORA), dan perhutanan sosial yang diikuti dengan program yang berpihak kepada rakyat meliputi hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi, SH. menekankan pemahaman bahwa hutan adalah sumber spiritualitas yang tidak perlu dieksploitasi fungsi ekonominya kecuali manfaat turunannya saja. Bilamana hutan akan dieksploitasi maka harus diperhitungkan dampak sosial dan lingkungannya.  

Ir. Wandoyo Siswanto, MSc. selaku moderator mengingatkan visi, misi, dan tujuan RKTN 2011-2030 serta urgensi kehutanan kedepan berbasis rendah karbon dengan cara mengintegrasikan hutan dan produk kayu ke dalam strategi perubahan iklim  (FAO/UNDP 2016). Pemateri Dr. Harry Santoso, Ketua Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (PUSKASHUT) YSWJ memaparkan Arahan Materi Muatan (AMM) RUU Perubahan Kedua UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. AMM mencakup landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis serta jangkauan/arah pengaturannya termasuk substansi baru yang belum diatur dalam UU No.41 Tahun 1999, meliputi hutan untuk energi terbarukan, kesatuan pengelolaan hutan (KPH), reforma agraria dan perhutanan sosial, penegakan hukum, neraca sumber daya hutan (NSDH), batas luasan hutan yang harus dipertahankan, mengarusutamakan hasil hutan selain kayu, penyederhanaan perijinan, lahan gambut dalam, pemanfaatan kawasan hutan pada cagar alam (CA) dan zona inti/rimba taman nasional (TN), pemanfaatan kawasan suaka alam (SA) dan kawasan pelestarian alam (KPA), pemenuhan target komitmen Presiden RI untuk pengurangan emisi GRK, tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs), akomodasi kepentingan sektor selain kehutanan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sertifikasi kehutanan, pengitegrasian/penyederhanaan pungutan bioprospeksi.

Beberapa masukan penting lainnya untuk Perubahan Kedua UU No.41 Tahun 1999 dalam Lokakarya tersebut adalah:

  • Manfaat hutan harus tegas dan konkrit disebutkan dalam UU dimana hasil huatn mencakup kayu, non kayu (pangan, damar, tengkawang, madu lebah, bahan obat-obatan, bahan kosmetik, dll), dan jasa lingkungan (iklim mikro, air, carbon, wisata, jasad renik, dll);
  • Kualitas hutan di Indonesia perlu dikembalikan sesuai fungsinya dan dalam kaitan dengan mutu lingkungan perlu diwajibkan untuk membangun hutan kota pada setiap kota;
  • Urgensi pengawasan oleh auditor/asesor pemerintah terhadap kinerja ijin pemanfaatan hutan di lapangan;
  • Sektor kehutanan harus mampu mendongkrak investasi di bidang kehutanan, industri kehutanan, dan sektor lain, untuk itu perlu adanya sinkronisasi dengan UU Perindustrian terkait dengan penyediaan bahan baku industri (serat, rayon, resin, damar, kosmetik, kayu lapis, dll);
  • Dalam RUU Omnibus Law yang bertujuan menyederhanakan perijinan sudah diarahkan untuk mencabut Pasal 28 dan 29 UU No.41 Tahun 1999;
  • Untuk perubahan yang terkait dengan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perlu disinkronisasikan dengan perubahan UU No.5 Tahun 1990 Tentang KSDAE.

Jakarta, 26 Februari 2020

PUSKASHUT YSWJ

 

Tinggalkan Balasan