
Dalam keluarga Indonesia pada umumnya, orang tua atau lingkungan secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan peran anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Anak laki-laki diminta membantu orang tua dalam hal-hal tertentu saja atau bahkan seringkali diberi kebebasan untuk bermain dan tidak dibebani tanggung jawab tertentu, sedangkan anak perempuan diberi tanggung jawab untuk membantu pekerjaan yang menyangkut urusan rumah seperti membersihkan rumah, memasak, dan lainnya. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain disebabkan oleh faktor biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan budaya.
Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dapat berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan mungkin dapat dipertukarkan. Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah peran yang dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan sehingga dapat bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dapat diistilahkan sebagai peran gender, yang menyangkut pembedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil kesepakatan atau hasil bentukan masyarakat.
Kesetaraan gender menyangkut kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Artinya semua manusia mempunyai akses dan kontrol yang wajar dan adil terhadap sumberdaya dan manfaatnya, agar semua orang dapat berpartisipasi di dalamnya, serta memutuskan dan memperoleh manfaat dari pembangunan yang ada. Kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender dimana ILO (2000) menyebutkan bahwa keadilan gender sebagai keadilan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki berdasarkan kebutuhan masing-masing. Perlakuan sama atau perlakuan yang berbeda tetapi dianggap setara dalam hal hak, keuntungan, kewajiban, dan kesempatan.
Dalam beberapa situasi masih ada orang yang berfikir bahwa membicarakan kesetaraan gender adalah sesuatu yang mengada-ada atau hal yang terlalu dibesar-besarkan. Pemikiran demikian umumnya muncul pada kelompok masyarakat yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Namun kegiatan memasak di dapur atau kegiatan rumah tangga lainnya adalah bentuk pilihan pekerjaan diantara sekian banyak jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan laki-laki ke tangan perempuan, karena bila hal ini yang terjadi maka bukan kesetaraan yang tercipta melainkan penambahan beban dan penderitaan pada perempuan. He he he
Setiasih Irawanti
Tim Puskashut